
Pada 24 Oktober 2016, ribuan perempuan Islandia berhenti bekerja pada pukul 14:38 waktu setempat. Pada saat yang sama, orang-orang produktif di negara itu rata-rata menghabiskan 18 persen waktu lebih sedikit untuk melakukan pekerjaan yang sama. Jadi, para perempuan memutuskan mereka akan bekerja dengan durasi jam 18 persen lebih sedikit selama sehari.

Ribuan perempuan kemudian meluapkan kekesalan mereka ke jalan-jalan untuk menyuarakan ketidaksenangan mereka mengenai kesenjangan upah. Meski sebenarnya gaji pekerja di Islandia masih jauh lebih baik dari sebagian besar negara di dunia, namun kesenjangan upah ini memang masih perlu diperbaiki.
Merespons tuntutan tersebut, pada awal Maret 2017, lima bulan setelah aksi turun jalan para pekerja, para pejabat di pemerintahan Islandia mengumumkan akan memberlakukan undang-undang baru yang mengharuskan perusahaan untuk membuka buku-buku mereka dan membuktikan bahwa mereka memberikan upah yang sama untuk jenis pekerjaan yang sama. Menurut USA Today, pemberlakuan undang-undang baru ini diyakini disetujui oleh parlemen karena anggota parlemen di seluruh spektrum politik sepakat bahwa kesenjangan upah perlu diperbaiki secepat mungkin.
“Persamaan hak upah adalah salah satu hak asasi manusia,” kata Menteri Sosial dan Menteri Kesetaraan Islandia, Thorsteinn Viglundsson. “Kita perlu memastikan bahwa laki-laki dan perempuan menikmati kesempatan yang sama di tempat kerja. Ini adalah tanggung jawab kita untuk mengambil setiap langkah guna mencapai itu.”
Islandia memang tidak akan menjadi negara pertama yang menegakkan upah yang sama, tetapi kebijakan yang mereka ambil dianggap yang paling agresif karena menargetkan setiap perusahaan, publik atau swasta, dengan setidaknya 25 karyawan. Pemerintah setempat berharap langkah-langkah seperti ini akan membantu untuk benar-benar memberantas kesenjangan upah dalam lima tahun ke depan. Ini adalah kemenangan besar, tidak hanya untuk perempuan, tetapi juga untuk kekuatan warga yang ikut terlibat menolak ketidaksetaraan.
Kabar dari Islandia memanaskan A Day Without a Woman, yang menyerukan perempuan di seluruh dunia untuk menyerang, mulai dari pekerjaan, tugas rumah, dan banyak tugas yang mereka lakukan hari demi hari, guna membuat nilai mereka lebih dikenal dunia dengan tegas. Warga Islandia adalah bukti positif dari demonstrasi publik untuk melakukan pekerjaan. Meski terdengar klise, tetapi ketika cukup banyak orang datang bersama-sama guna membuat suara mereka didengar, orang yang berkuasa pun tidak punya pilihan selain untuk mendengarkan, bahkan jika mereka tampaknya tidak menyetujuinya.
Perubahan mungkin tidak dapat terjadi hanya dalam semalam, atau bahkan dalam lima bulan seperti yang terjadi di Islandia, tetapi seperti kata pepatah, the arc of the moral universe is long, but it bends toward justice. Kadang-kadang, busur hanya perlu beberapa ribu perempuan “agresif” untuk memaksanya agar membungkuk sedikit lebih cepat.