
Letusan gunung berapi telah diketahui mampu memengaruhi penerbangan dan iklim. Dari partikel abu yang muntah ke atmosfer, mereka menimbulkan bahaya serius bagi keselamatan penerbangan karena efek abrasif abu vulkanik ke mesin pesawat. Namun, partikel abu dianggap memiliki masa hidup pendek dan diasumsikan mampu terhapus secara cepat dari atmosfer. Tetapi, senyawa gas seperti H2O, CO2, dan SO2 masih dapat bertahan. Terbaru, SO2 diubah menjadi H2SO4 melalui oksidasi dengan OH dan cepat berubah menjadi tetesan asam sulfat.

Letusan besar terakhir di bumi terjadi pada tahun 1991 dari Gunung Pinatubo. Sejak saat itu, banyak letusan kecil yang terjadi dan memengaruhi isi aerosol dari stratosfer. Salah satunya terjadi di Indonesia ketika Gunung Kelud yang berada di wilayah Kabupaten Blitar dan Kabupaten Kediri meletus pada tanggal 13 Februari 2014.
NASA kemudian melakukan pengamatan dan memperoleh gambaran abu vulkanik menyerupai jamur membumbung tinggi ke langit dan terlihat hingga jarak 25 km, sebuah tingkat ketinggian yang luar biasa untuk sebuah letusan gunung. Para ilmuwan kemudian menyadari bahwa hal tersebut bukan satu-satunya karakter unik yang dimiliki sebuah gunung berapi.
Kemudian, sebuah tim ilmuwan NASA Langley dan University of Wyoming memutuskan untuk mempelajari temuan menakjubkan ini. Setelah beberapa minggu, pengamatan CALIPSO (Cloud Aerosol Lidar and Infrared Pathfinder Satellite Observation) melalui pengukuran depolarisasi menunjukkan ada sifat geometris aerosol, dan menyimpulkan bahwa “bulu-bulu” ini tidak hanya terbuat dari tetesan asam sulfat, tetapi juga partikel cair lainnya yang diharapkan dapat membentuk SO2 beberapa minggu kemudian.
Beberapa minggu setelahnya, proposal diajukan ke markas NASA dan pendanaan tersedia untuk meluncurkan balon kecil guna penelitian yang kemudian dinamakan dengan proyek KLASH (Kelud-ASH). Kampanye KLASH ini berlangsung antara 14 hingga 21 Mei 2014. Para ilmuwan dikerahkan untuk mencegat dan mengambil muatan aerosol kecil dari Kelud di wilayah Australia bagian utara. Kampanye tersebut terdiri dari peluncuran 5 balon udara cuaca kecil dari Badan Meteorologi di Darwin. Selain itu, penerbangan balon juga menggabungkan Counters Particle Optical (OPC) dari University of Wyoming yang berlangsung dari Corroboree, South of Darwin.
Untuk panduan penerbangan, sistem peramalan disatukan berdasarkan asimilasi pengamatan CALIPSO menjadi model transportasi Lagragian. Selama kampanye KLASH, semua penerbangan balon memang melihat “bulu-bulu” Kelud di stratosfer yang lebih rendah. Semua profil menunjukkan “bulu-bulu” Kelud antara ketinggian 18-22 km dengan beberapa perbedaan dalam nilai-nilai kepunahan.
Secara keseluruhan, data yang dikumpulkan selama kampanye KLASH telah digunakan untuk memvalidasi pengamatan abu vulkanik, memperoleh distribusi ukuran abu vulkanik dan sulfat dalam “bulu-bulu”, dan membatasi perhitungan radiasi. Hasil ini bisa menjadi perubahan signifikan dalam pemahaman kita tentang masa abu vulkanik di atmosfer dan dampaknya pada sistem iklim kita.